ILMU-ILMU EMPIRIK


A.    ILMU-ILMU EMPIRIK, SECARA LEBIH KHUSUS
1.      Ilmu Alam
Kadang-kadang ilmu alam digambarkan sebagai ilmu empirik yang sangat menonjol penampilannya. Metode-metode yang digunakan dalam ilmu alam dikehendaki agar dipakai sebagai contoh bagi ilmu-ilmu empirik lainnya. Sejumlah hukum alam yang bersifat umum dipandang juga berlaku terhadap gejala-gejala yang tidak secara ketat bersifat kealaman. Usaha untuk memperoleh keseragaman (uniformity) serta kesemestaan (universality), yang di dalam ilmu alam dipandang  wajar, secara demikian dilanjutkan penerapannya di luar lingkungan alam.
Di dalam cara berfikir serta cara bekerja ilmu alam observasi, teori dan eksperimen sepenuhnya jalin-menjalin. Sebagai ilmu empirik, ilmu alam mendapatkan bahan-bahannya dari alam sebagai kenyataan empirik melalui pengalaman yang banyak jumlahnya. Suatu observasi sebelum terjadi, harus sudah diatur serta direncanakan. Karena jangkauan observasi inderawi manusia sangat terbatas dibandingkan dengan dimensi-dimensi alam, maka observasi tersebut haruslah diperkuat, diperluas, diperlengkap, dipersisikan dengan menggunakan alat-alat, didukung oleh praanggapan-praanggapan teoritik, dan ditetapkan kembali serta diterjemahkan dengan memakai operasi-operasi pemikiran.
Jika kita memperbandingkan ilmu alam dengan ilmu hayat dan dengan ilmu jiwa/ilmu masyarakat, maka tampaklah bahwa :
1.      “jarak” antara subyek dengan obyek dalam ilmu alam lebih besar dibandingkan dengan jarak yang terdapat dalam ilmu hayat, dan dalam ilmu hayat lebih besar dibandingkan dengan yang terdapat dalam ilmu jiwa/ilmu masyarakat.
2.      “lingkungan” obyek berkurang besarnya dalam urutan yang sama. Dalam ilmu alam subyek meninjau obyek dalam jarak yang lebih besar dan lebih banyak meninjaunya dari luar. Di antara seorang ahli fisika dengan obyek fisiknya terdapat pertalian yang lebih kecil dibandingkan dengan pertalian yang terdapat di antara ahli jiwa/ ahli ilmu masyarakat dengan gejala-gejala yang mereka selidiki.
Perbedaan tersebut tentu berpengaruh bagi metode-metode yang digunakan. Alam (tidak hidup) hanya memakai “bahasa” yang kita rencanakan serta kita buat agar dapat dipahami. Sebaliknya dalam ilmu jiwa, sulit sekali untuk menggunakan bahasa yang tidak dirembesi oleh bahasa sehari-hari yang menyangkut obyek-obyek manusiawi. Adanya “jarak” yang lebih besar yang terentang antara subyek dengan obyek dalam ilmu alam tidak hanya mengharuskan dipergunakannya “sarana-sarana”, alat-alat kerja serta alat-alat pikir yang lebih banyak dan lebih rumit sebagai perantara, melainkan menyebabkan dapat juga dimengerti mengapa para ahli ilmu alam dapat secara lebih memaksa, lebih mempengaruhi, lebih buatan menghadapi obyek-obyek mereka. hasil yang dicapai dengan menggunakan metode-metode yang berlaku dalam ilmu alam, juga menyebabkan adanya kecenderungan untuk memperluas cara bekerja serta cara berfikir dalam ilmu alam sehingga meliputi pula ilmu-ilmu empirik yang lain.
2.      Ilmu Hayat
Ilmu hayat menempati kedudukan yang tersendiri dalam lingkungan ilmu-ilmu alam. Ilmu ini menghadapi gejala-gejala alam hidup. Mengenai masalah obyek penyelidikannya ini sering orang berpendirian bahwa alam hidup berbeda secara azasi dengan alam tidak hidup; mengenai metode yang digunakan ilmu hayat harus bekerja dengan metode yang berlainan dibanding dengan yang digunakan, misalnya dalam ilmu fisika dan ilmu kimia.
Ilmu hayat menghadapi gejala-gejala yang kurang mudah untuk dijelaskan dengan menggunakan berbagai penjelasan belaka seperti yang berlaku dalam ilmu fisika. Dalam kenyataannya seorang ahli ilmu hayat akan menggunaka berbagai penjelasan. Dalam hal ini juga akan memakai penjelasan kausal, seperti yang terbiasa dikerjakan dalam ilmu-ilmu fisika, umpanya bila ia melukiskan terjadinya sebuah alat kelengkapan ragawai tertentu sebagai akibat sejumlah proses fisiologi. Yang demikian ini dinamakan penjelasan kausal atau disebut juga penjelasan mekanik, karena mekanisme sebab-sebab fisik dapat memberikan penjelasan yang cukup bagi suatu gejala.
Penerapan penjelasan secara fungsional tidaklah menutup pintu bagi kemungkinan digunakannyalah penjelasan yang disebut terdahulu---cara penjelasan kausal dan genetik. Dalam kefisafatan mengenai ilmu hayat, dua macam pendirian sejak dahulu yaitu mekanisme dan vitalisme. Paham mekanisme mengajarkan bahwa segenap proses di alam kodrat, juga yang merupakan ciri organisme-organisme hidup, dapat dipulangkan kepada proses-proses fisiko-kimiawi. Dalam bentuk yang lebih bersifat metafisik, paham ini mengatakan bahwa proses-proses hidup serta proses-proses rohani dapat dipulangkan kepada mekanisme materi yang tidak hidup seperti yang diajarkan oleh fisika dan ilmu kimia. Dalam bentuk yang lebih bersifat metodololgik, paham ini mengajarkan bahwa orang baru berhak berbicara  tentang penjelasan ilmiah mengenai gejala-gejala hidup, jika orang dapat mendifiniskan berdasarkan atas suatu teori fisiko-kimiawi.
3.      Ilmu-Ilmu Manusia
Dunia ilmu-ilmu empirik biasanya dibagi dalam dua belahan. Belahan yang satu meliputi ilmu-ilmu alam, belahan yang lain meliputi apa yang dikatakan ilmu-ilmu manusia, ilmu-ilmu budaya, ilmu-ilmu rohani, ilmu-ilmu prilaku atau ilmu-ilmu masyarakat. Untuk mudahnya bagi segenap ilmu yang tidak termasuk dalam ilmu-ilmu alam. Dalam hal ini yang kita pikirkan bukanlah apa yang kita ingin ketahui mengenai dari segi fisiologi, anatomi, morfologi, ilmu kimia dan sebagainya. Melainkan yang kita pikirkan ialah ciri khas yang dipunyainya, yang membedakannya dengan binatang serta kebinatangan, dan yang menyebabkan ia disebut manusia. Jika dikehendaki dapat saja apa yang menyebabkan ia disebut manusia juga dinamakan “kodrat alamnya”, tetapi istilah ini diberi arti yang lebih luas mengenai hakekatnya, mengenai tugasnya dan mengenai kegunaannya.
 Meskipun berbeda dengan binatang, manusia hidup dalam suatu dunia yang terdiri dari barang-barang yang dibuatnya sendiri srta tujuan-tujuan yang dipikirkannya sendiri. Seperti yang pernah diungkapakan oleh ahli ilmu masyarakat Max Weber mengatakan :
Dalam hal susunan kemasyarakatan kita berada dalam keadaan yang agak lebih tinggi dibandingkan dengan segenap ilmu alam yang sekedar menetapkan hubungan-hubungan fungsional serta aturan-aturan (hukum-hukum) .... suatu kegiatan yang senantiasa membawa hasil yang tidak memadai; yaitu usaha-usaha mendalami sedalm-dalamnya’ (verstehen) hubungan-hubungan antara perseorangan yang bersangkutan, sedangkan hubungan-hubungan antara sel-sel tidak kita “verstehen”, melainkan dapat kita pahami serta tetapkan secara fungsional”.
Seorang ahli ilmu masyarakat yang lain (Mac Iver) mengatakan bahwa ada suatu perbedaan hakiki antara secarik kertas yang kabur diterpa angin dengan seorang manusia yang lari dikejar-kejar oleh orang banyak. Sepotong kertas tidak mengenal rasa takut dan angin tidak mengenal rasa benci. Sementara itu tanpa mengenal rasa takut orang tersebut tidak akan melarikan diri dan tanpa rasa benci orang banyak tidak akan mengejar-ngejar. Manakala rasa takut kita pulangkan kepada gerakan-gerakan tubuh tertentu berarti bahwa demi teori, dunia kita lepaskan dari makna yang dikandungnya.

B.     BAHASA ILMU

1.      Definisi Stifulatif dan Definisi Deskriptif Eksplikasi-Eksplikasi
Yang membedakan pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan pra ilmiah antara laian, bahwa pengetahuan ilmiah telah teruji secara sistematik. Dalam hal ini orang mencoba untuk membuktikan kebenaran hasil-hasil pemahaman serta dugaan-dugaan matematik. Sedangkan menenai kebenaran hipotesa-hipotesa empirik, orang mencoba untuk mengambil keputusan dengan jalan mengadakan observasi-observasi atau eksperimen-eksperimen.
Cara yang palin tepat untuk menetapkan pemakaian suatu istilah ialah dengan menggunakan definisi eksplisit. Dalam definisi seperti itu ditetapkan bahwa suatu istilah atau suatu gabungan istilah dipakai dalam makna tertentu. Definisi yang lain yang bisa dipakai adalah definisi deskriptif, yang menunjukkan arti apakah yang telah dipunyai oleh suatu istilah atau gabungan istilah tertentu (atau jika dipandang perlu, berdasarkan atas penyelidikan kesejarahan, arti apakah yang pernah dipunyainya).
Perbedaan menonjol antara definisi stipulatif dengan definisi deskriptif . sebuah definisi deskriptif benar atau tidak benar, tergantung pada apakah definisi tadi mencatat secara tepatarti yang sedang deberikan kepadanya (pemakaian kata yang sedang berlaku). Sebaliknya, sebuah definisi stipulatif, dapat bersifat menguntungkan atau tidak menguntungkan, bersifat melingkar atau tidak melingkar, namun tidaklah mungkin menyifatkannya sebagai benar atau tidak benar.
2.      Definisi Operasional
Sumbangan yang mutlak harus ada untuk mempertajam pengertian istilah-istilah, diperoleh dari definisi-definisi operasional. Penyebutan “operasional” didasarkan atas  operasi-operasi yang terperinci yang menentukan dapat diterapkannya suatu istilah. Definisi operasional pertama kalinya mengalami perkembangan pesat dalam ilmu-ilmu alam yang eksak. Kebutuhan akan ukuran-ukuran yang dapat ditangani secara intersubyektif, menyebabkan definisi-definisi untuk pertama kalinya berhasil baik dalam ilmu-ilmu tersebut. dalam hal pengertian-pengertian klasifikasi, haruslah diperoleh jawaban yang memberikan kepastian atas pertanyaan apakah suatu benda tertentu memenuhi atau tidak memenuhi pengertian yang bersangkutan. Seseungguhnya pertanyaan ini mendasarkan diri atas klasifikasi-klasifikasi, baik misalnya yang didasarkan atas unsur yang menyusun benda (perak, emas, tembaga, timah, besi dan sebagainya)maupun didasarkan atas ciri-ciri tertentu yang dipunyai oleh benda . harus dilakukan kajian yang menentukan dalam arti positif atau negatif terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut.
3.      Suatu Bahasa Kesatuan
Dengan merembetnya alat kelengkapan berupa matematika ke dalam berbagai ilmu yang berbeda-beda jenisnya, dalam batas-batas tertentu tercapailah penyatuan peristilan ilmiah. Pada tahun 30-an para penganut paham empirisme logik dengan gigih mempertahankan pendirian bahwa ada kemungkinan untuk menciptakan suatu bahasa kesatuan ilmiah. Di samping bersifat semesta, bahasa kesatuan tadi hendaknya juga bersifat intersubyektif: arti yang dikandung oleh ungkapan-ungkapan hendaknya sama bagi segenap pemakai bahasa itu. Yang diinginkan merea sebagai bahasa kesatuan tersebut adalah bahasa ilmu alam, dengan perbedaan gaya serta corak sepenuhnya, dan pendirian itu dinamakan “fisikalisme”. Paham fisikalisme menghadapi kesulitan yang besar dan akhirnya menjadi lemah. Dewasa ini orang tidak lagi sering mempertanyakan serta menanggapi masalah kesatuan ilmu dalam hubungannya dengan suatu bahasa kesatuan. Namun yang masih tetap hangat dibicarakan ialah masalah kesatuan hakiki dalam hal tujuan serta metode.

C.    ILMU DAN NILAI

1.      Teori dan Penerapan
Yang menjadi Ciri manusia yang berfikir, bahwa ia membentuk pengetahuan. Pengetahuan ini diperoleh dengan jalan menghentikan reaksinya yang serta merta dan kemudian berpikir lebih lanjut serta menyelidiki hubungan yang terdapat antara hal-hal yang dihadapinya dan sebab-sebab serta alasan-alasan yang tersembunyi dibalik hal-hal tersebut.
Pengetahuan praktik yang berarah tujuan yang seperti itu tersusun dalam sistem yang dinamakan ilmu, baru mempunyai “sifat terapan” apabila motifnya yang pokok serta perwujudannya yang langsung berupa hasil penerapan itu sendiri, namun bagaimanapun, penerapan tersebut sudah diiringi dengan teori, justru karena hendak memikul tanggungjawab sebagai ilmu. Artinya bahwa sudah semenjak awal penerapannya setiap “penerapan” sejauh hendak dikatakan “bersifat ilmiah”, harus disertai serta didasarkan atas “teori”, penerapan yang tertua misalnya pemilihan antara tumbuh-tumbuhan yang dapat dimakan, yang mengandung racun, yang mempunyai daya penyembahan, pengetahuan mengenai irama musim yang dimanfaatkan bagi pertanian, pengetahuan mengenai ciri-ciri pengenal serta potensi-potensi yang dipunyai oleh bahan-bahan mentah yang digunakan untuk dapat secara teknik membuat perkakas-perkakas. Yang menjadikan pengetahuan bersifat ilmiah karena sifatnya sebagai hasil pemahaman secara teoritik.
Apabila kita berbicara mengenai “penerapan” maka dalam hal ini sesungguhnya sudah tersirat pula adanya proses perubahan  yang terarah. Bila kita hendak menerapkan hasil pemahaman atau penemuan untuk mencapai tujuan yang praktik, berarti ada perbedaan  dalam hal keterangan  antara pemakaian metode ketika hasil pemahaman teoritik tercapai dengan cara yang hendak dicapai oleh penerapan secara praktik. Maka dalam hal ini diperlukan suatu penyesuaian, suatu perubahan arah yakni perubahan penggunaan metode.

2.      Ilmu, Nilai, Keadaan  Bebas Nilai
Di dalam filsafat ilmu dan metodologi ilmu yang terjadi banyak kesibukan dalam menghadapi pertanyaan apakah ilmu bersifat “bebas---nilai”, dapat atau seharusnya bersifat demikian. Suatu tanggapan disebut pertimbangan nilai (=value judgment) jika di dalamnya orang mengatakan bahwa sesuatu hal baik atau keliru, diharapkan atau tidak diharapkan, positif atau negatif, menguntungkan atau merugikan, indah atau jelek, atau apakah sesuatu hal layak untuk diutamakan dibandingkan dengan hal-hal yang lain.
Ungkapan “ilmu sebagai ilmu/dipandang secara tersendiri”, sudah tentu bersifat abstrak. Ungkapan ini merupakan istilah cakupan bagi suatu kelompok yang besar dan berisikan “kegiatan-kegiatan” yang berjenis khusus yang masing-masing diarahkan untuk memperoleh pengetahuan menyangkut bidang-bidang kenyataan yang sangat beraneka ragam, namun yang dapat dikenal kembali sebagai suatu kesatuan karena digunakannya metode-metode serta teknik-teknik tertentu dan diperhatikan kaidah-kaidah, ketentuan-ketentuan atau pedoman-pedoman tertentu.
3.      Ilmu Terapan dan Masalah Pertimbangan Nilai
Pada ilmu-ilmu terapan tujuan yang hendak dicapai bersifat menentukan. Hal ini berlaku bagi ilmu-ilmu teknik, tetapi ilmu-ilmu lain yang banyak jumlahnya dapat juga dimasukkan dalam jenis ilmu-ilmu terapan. Meskipun pada bab sebelumnya kiranya telah diterangkan dengan jelas bahwa ilmu mengolah, mengubah bentuk bahan-bahan keterangan yang berasal dari dunia kehidupan manusia sehari-hari, agar dapat ditangani dalam suatu kerangka metodologik yang seeksak mungkin.

Ilmu dapat mengatakan dua hal kepada kita. Pertama-tama, keputusan-keputusan apakah yang dapat kita ambil. Dan selanjutnya, hari depan bagaimanakah yang akan kita hadapi. Yang terakhir ini tergantung pada keputusan mana yang kita ambil. Dengan demikian dapatlah dibayangkan bahwa pertimbangan nilai melakukan pilihan, di antara sejumlah hari depan yang mungkin kita alami. Tanpa pertimbangan nilai tidaklah mungkin orang melakukan piliha itu.

adnantandzil.blogspot.com

Comments

Popular posts from this blog

Pengertian Risiko Keuangan

Pengertian Valuta Asing dan Risiko Valuta Asing

Teori Permintaan Uang Menurut Keynes