Sumur Tua

Sumur Tua,
Beberapa tahun ini, cuaca kerap tak patuh pada siklusnya. Ini bukan musim penghujan, tetapi tiap hari awan tak pernah alpa mengirimkan rintiknya. Air pun makin lama makin deras tumpah ke bumi. Ayam dan bebek tak perlu lagi antri menunggu tadahan air kappara’ (baki besar) dari empunya di kampung Cambayya sana. Ayam betina sudah tak pesimis lagi mengeraskan suara koteknya saat hendak bertelur. Barisan bebek sudah kembali rapi di pematang sawah menyidak siput-siput kecil yang mungkin baru saja lolos dari himpitan retakan tanah. Ataukah beberapa sapi betina dan kambing terlihat sudah begitu tabah bertualang di parang sawah yang baru saja ditumbuhi rumput-rumput muda belia setelah menjanda sekian lama pasca Idul Qurban bulan kemarin.
Mungkinkah beberapa saudara kita di kampung seberang telah terijabah doanya ataukah tengadah jemari tangan keriput pak tua baru saja menuntaskan doa pamungkasnya yang konon hanya bisa dipakai disaat keadaan sudah genting. Tetapi, Alhamdulillah hujan ini Berkah, semoga kita semua dapat memanfaatkannya dengan bijak.
Namun cerita lain terkabar disalah satu sudut kota ini. Soreang sedikit ingin dikenali lebih dari sekedar nama Angge Sayu yang gagah perkasa itu. Ada beberapa sumur tua dalam pelukannya yang ingin ia endapkan ke memori orang-orang diluar sana. Sumur-sumur yang selama ini menadah aroma hujan, menepikan berjuta rasa yang dikirim awan. Sumur yang konon untuk menyejukkan padi disaat kemarau dan mencukupi kebutuhan ibu-ibu rumah tangga yang kutaksir di gali 200 tahun silam. bahkan pada cerita lain ada yang bilang bahwa dulunya Soreang kerap dilewati pesawat Belanda yang sesekali menjatuhkan Bom hingga bekasnya membentuk lubang sebesar itu. Ahlawalam.
Kalau tidak salah ada 9 buah sumur besar, mulai dari yang berdiameter 7 sampai 12 meter. Empat yang sempat saya ingat namanya; bungung Lambere’, bungung Seko, bungung Banga dan bungung Lompoa (tolong cukupkan kalau ada yang tahu). Sumur-sumur itu konon punya cerita masing-masing dibalik namanya.
Saya teringat disuatu pagi yang cerah 20an tahun lalu, tepatnya tahun 1992 saat kami sudah diperkenangkan memikul air dengan 2 jergen 5 liter atau dengan 2 ember no.3. Setiap pagi saya dan teman-teman dikampung mandi di salah satu sumur yang berjarak beberapa ratus meter dari rumah kami. Kadang kami belasan berkumpul dengan telanjang bugil mengisi setiap sisi bibir sumur besar untuk mandi. Kami datang lebih awal karena kami ingin cepat-cepat kesekolah menunjukkan kuku-kuku kami sebelum masuk kelas. Adapula yang mencuci dengan memakai sarung yang dililitkan hanya sampai diatas dada (a’palikang susu) setelah gerombolan anak-anak sekolah sudah keluar antrian.
Airnya tidak terlalu bening bahkan biasa ditumbuhi lumut dan rumput yang menjalar. Sesekali terlihat ikan balebalang mengintip dibalik lumut bersama kecebong yang sesekali terbirit-birit lari dari kejaran ikan gabus yang beringas. Semua itu ikut mewarnai prosesi mandi kami tiap pagi dan kesan- kesan itu sulit kami lupa.
Tak jarang sumur itu kering saat kemarau betah berlama-lama. Kami harus mengikatkan tali timba pada bambu sepanjang 2 sampai 3 meter untuk memudahkan kami menimba air yang sudah surut dan terlihat lebih akrab dengan retakan tanah. Disaat airnya sudah surut seperti itu biasanya kami hijrah ke sumur lain yang jaraknya sampai 1 Kiloan meter mencari air atau mengali lebih dalam lagi sumur terdekat untuk mencari mata air. Sering pula digunakan sebagai tempat main bola bagi kami jika sumur-sumur itu benar-benar telah kering. Tak jarang pula ada beberapa orang mengkaplin 1-2 meter dasar sumur itu tuk mereka gali sendiri sampai terlihat ada beberapa lubang-lubang kecil yang kedalamnya cukup bervariasi, tergantung sedalam mana air bersembunyi.
Sumur-sumur itu tengah sekian lama menganggur dan butuh disikapi dengan bijak. Mereka tak pernah lagi melihat gerombolan anak-anak telanjang disepanjang lingkaran bibirnya, mungkin juga mereka tengah merindu pada bau sabun colek Wings, Air Mas dan Dangdut yang dulu tiap pagi dihirupnya, ataukah rindu dengan beberapa tukang kaplin yang dulu kerap membuat lubang kecil didasarnya. Jadi gundahnya adalah sumur-sumur tua itu telah dilupakan dan dibiarkan mendangkal belasan tahun. Saat ini hanya tinggal 2 sumur saja yang sempat diberdayakan kalau tidak salah oleh PNPM-Mandiri pedesaan, yang lainnya terjadi pendangkalan karena erosi dan kerinduan.
Meskipun hari ini kami terlihat kecukupan air dan tidak perlu lagi ke sumur-sumur Tua itu, namun saya begitu yakin suatu saat nati kita akan membutuhkan mereka lagi, karena kita sama-sama tahu sumber air dibagian timur Kota ini kian semakin tergadai dengan terbongkahnya batu dari kekokohannya, gundukan tanah diatas besi beroda yang setiap menit kerap bergeser menumpuki lahan kebun dan persawahan, ataukah sinyal cemaran air yang telah dinikmati lebih awal oleh ribuan ikan di salah satu sudut kota baru-baru ini yang mungkin saja menambah daftar orang yang yakin seperti saya. Saya yakin itu.
Bagi siapapun yang ingin mengabadikannya, datanglah ke soreang sebelum sumur-sumur itu benar–benar bisu dan tak mampu lagi berbagi. Berdirilah disepanjang bibirnya sambil memandangi balebalang dan kecebong yang terbirit-birit dari kejaran ikan gabus yang beringas.
....................
Sumur Tua, menadah aroma hujan, menepikan berjuta rasa yang dikirim awan.
Sumur Tua, Kini waktu seakan tak lagi bersekutu padamu, kau kian dangkal dan tenggelam oleh debu dan lumpur yang betah bersemayam.
Sumur Tua, janganlah membisu, walau ketukan rintik hujan tak lagi bisa kau rumahkan.
Sumur Tua, maafkan kami yang lupa daratan.
Adnan_junaedi

Comments

Popular posts from this blog

Teknik Meningkatkan Kreativitas

Teori Permintaan Uang Menurut Keynes

Pengertian Valuta Asing dan Risiko Valuta Asing